8 Jul 2017

Ketaatan kepada Rasulullah Tidak Bisa Dipisahkan Dari Ketaatan kepada Allah

Ketaatan kepada Rasulullah (as-Sunnah adalah Hujjah, Sumber Pensyari’atan di Dalam Islam)
(as-Sunnah adalah Hujjah, Sumber Pensyari’atan di Dalam Islam Setelah al-Qur’an)

Setelah kita mengetahui makna dan pengertian as-Sunnah di dalam Islam, adalah sangat penting selanjutnya memahami bahwa as-Sunnah adalah hujjah, sumber pensyariatan di dalam Islam SETELAH AL-QUR’AN.

As-Sunnah sebagai sumber pensyariatan di dalam Islam sangat banyak disebut oleh Allah dalam firman-firman-Nya. Diantaranya: an-Nisaa': 80

“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah MENAATI ALLAH.”
(Q.S: an-Nisaa’: 80)

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku…” (Q.S: Ali Imran: 31)

Kedua ayat di atas menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa ketaatan kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari ketaatan kepada Rasul-Nya.

Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)“, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (Q.S: an-Nisaa: 150-151)

Berdasar ayat di atas, Allah melarang kita membeda-bedakan antara keimanan kepada Allah dan keimanan kepada Rasul-Nya (misal hanya beriman kepada Allah saja), dan membeda-bedakan diantara para rasul. Jika melakukan ini, maka kafirlan orang itu berdasarkan ayat ini.

Ketaatan kepada Rasulullah (as-Sunnah adalah Hujjah, Sumber Pensyari’atan di Dalam Islam) Ketaatan kepada Rasulullah Tidak Bisa Dipisahkan dari Ketaatan kepada Allah (as-Sunnah adalah Hujjah, Sumber Pensyari’atan di Dalam Islam Setelah al-Qur’an)

Setelah kita mengetahui makna dan pengertian as-Sunnah di dalam Islam, adalah sangat penting selanjutnya memahami bahwa as-Sunnah adalah hujjah, sumber pensyariatan di dalam Islam SETELAH AL-QUR’AN.

As-Sunnah sebagai sumber pensyariatan di dalam Islam sangat banyak disebut oleh Allah dalam firman-firman-Nya. Diantaranya:

“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah MENAATI ALLAH.” (Q.S: an-Nisaa’: 80)

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku…” (Q.S: Ali Imran: 31)

Kedua ayat di atas menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa ketaatan kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari ketaatan kepada Rasul-Nya.

Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)“, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (Q.S: an-Nisaa: 150-151)

Berdasar ayat di atas, Allah melarang kita membeda-bedakan antara keimanan kepada Allah dan keimanan kepada Rasul-Nya (misal hanya beriman kepada Allah saja), dan membeda-bedakan diantara para rasul. Jika melakukan ini, maka kafirlan orang itu berdasarkan ayat ini.

Maka berhati-hatilah kita terhadap as-Sunnah, karena ia datang dari Rasul Allah.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S: al-Ahzab: 36)

Surat al-Ahzab ayat 36 di atas sesungguhnya merupakan ayat yang sangat tegas MEMERINTAHKAN UNTUK TAAT KEPADA ALLAH (al-Qur’an) dan RASUL (as-Sunnah). Siapa yang tidak taat kepada keduanya, maka ia telah durhaka dan barangsiapa yang durhaka, maka ia telah SESAT dengan sesat yang NYATA.

Maka, perkara ketaatan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bukanlah perkara yang kecil. Jangan menyepelekan apa-apa yang datang dari as-Sunnah.

Tapi ironisnya, justru ada sebagian kecil dari umat Islam yang mengesampingkan hadits dan hanya berpegang kepada al-Qur’an saja. Ini adalah musibah. Karena al-Qur’an sendiri memerintahkan kita untuk patuh kepada Rasulullah (as-sunnah). Justru dengan tidak patuh kepada as-Sunnah, berarti sama saja tidak patuh kepada sebagian dari isi al-Qur’an. Dan tidak patuh kepada sebagian isi al-Qur’an dapat menyebabkan pelakunya kafir (lihat an-Nisaa’ 150-151 di atas).

Surat al-Ahzab ayat 36 di atas sesuai pula dengan hadits nabi shalallahu ‘alaihi wassalam

“”Aku tinggalkan 2 perkara yang kalian TIDAK AKAN TERSESAT SELAMANYA jika kalian berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah wa Sunnati. Keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu di telagaku.” HR Hakim I/93 dan al-Baihaqi X/114, shahih

Kita lanjutkan dalil-dalil dari al-Qur’an.

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S: an-Nuur: 51)

Sekarang tahulah kita siapa yang disebut sebagai “ORANG MUKMIN”, yaitu mereka yang jika diajak kepada dan berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah mereka akan berkata: “sami’na wa atho’na” (kami mendengar dan kami patuh).

Bandingkan jawaban ini dengan jawaban orang-orang MUNAFIK:

Ketika diajak taat kepada Allah dan RasulNya, orang munafik akan menjawab dengan jawaban: “sami’na wa hum laa yasma’uun”:

“Hai orang2 beriman, taatlah kepada Allah & RasulNya dan janganlah kamu berpaling dari-Nya, sedang kamu mendengar. Dan janganlah kamu seperti orang-orang MUNAFIQ yang berkata: “KAMI MENDENGARKAN”, PADAHAL MEREKA TIDAK MENDENGARKAN.” (al-Anfaal: 20-21)

Itulah ciri orang munafiq. Mereka akan menjawab “kami mendengar”, padahal mereka tidak mendengar. Masuk telinga kanan, langsung keluar di telinga kiri, kira-kira seperti itu. Kita memohon kepada Allah agar terhindar dari sifat ini.

Kita lanjutkan kehujjahan as-Sunnah.

“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.S: al-Maaidah: 92)

” Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan” (Q.S: an-Nuur: 52)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (Q.S: an-Nisaa: 59)

Ayat di atas sangat tegas sekali memerintahkan orang-orang yang beriman untuk MENGEMBALIKAN SEGALA PERSELISIHAN KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA sebagai BENTUK KETAATAN kepada Allah dan Rasul-Nya.

Orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan mengembalikan segala perselisihan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Berkata Imâm Ibnu Katsîr: “Apa saja yang ditetapkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah, serta disaksikan kebenarannya (oleh al-Kitab dan as-Sunnah), maka itulah kebenaran. Sementara, tidak ada yang lain setelah munculnya kebenaran, selain kesesatan.”

Seperti ayat: “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)

Imam Ibnu Katsir melanjutkan berkenaan tafsir surat an-Nisaa: 59 ini: “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak mau berhukum kepada Al-Kitab dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan dan tidak mau merujuk kepada keduanya, maka dia bukan orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir.”

Karenanya Allah berfirman: “Dan barangsiapa yg menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, & mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yg telah dikuasainya itu & Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, & Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S: an-Nisaa: 115)

Ada beberapa faedah penting yang harus kami bahas sedikit dari ayat di atas:

1) Kebenaran itu atau hujjah harus tegak terlebih dahulu sebelum seseorang atau suatu kaum dapat dihukumi sebagai ‘sesat’. Sebab Allah mensyaratkan ‘sesudah jelas kebenaran’.

2) Orang-orang mukmin yang dimaksud pertama kali oleh ayat di atas adalah para sahabat. Sehingga ayat ini menunjukkan KEWAJIBAN MENGIKUTI MANHAJ/JALAN/CARA BERAGAMA SAHABAT (SALAFUSHSHALIH). Allah katakan, orang yang menyelisihi jalan para sahabat maka ia telah sesat.

3) Perhatikan kata LELUASA di ayat ini. Ada orang yang akan diulur dalam perbuatan dosa & kesesatan, di istidraj oleh Allah, yaitu: orang yang telah jelas kebenaran, tapi menentang Rasul dan menyelisihi jalannya sahabat. Merekalah orang yang akan DIBIARKAN LELUASA DALAM KESESATANNYA.

Karenanya Imam as-Tsaury mengatakan: “Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat, sedang pelaku bid’ah sulit bertaubat” (Ibnul Jauzi dalam “Talbis Iblis”).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…semua bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”  HR Muslim

Kenapa pelaku bid’ah sulit bertaubat? Karena:

“Dan barangsiapa yg menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, & mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yg telah dikuasainya itu & Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, & Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Q.S: an-Nisaa: 115)

Sudah jelas kebenaran dan jalan para sahabat, malah dia tentang dan dia selisihi. Inilah diantara sebab mengapa ahlul bid’ah banyak yang mati di atas kebid’ahannya, terus mati sambil memeluk kesesatannya. Ketahuilah, bid’ah itu adalah lawan sunnah. Bid’ah itu ada segala yang menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti misalnya Rasul melarang kita tasyabbuh/menyerupai Yahudi dan Nasrani, lalu sebagian orang malah membuat perayaan Maulid. Ini adalah bid’ah.

Surat an-Nisaa ayat 115 , sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Imam Muslim di atas dan perkataan ulama dari kalangan tabi’in Sufyan as-Tsaury, semuanya berkesesuaian.

Kita lanjutkan pembahasan, 

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S: al-Anfaal: 46)

Allah juga kadang menyebut as-Sunnah dengan “al-Hikmah”,

“…mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah)…” (Q.S: al-Baqarah: 129)

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan Kitab adalah al-Qur’an dan Hikmah adalah as-Sunnah.

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka…” (Q.S: an-Nahl: 44)

Allah memerintahkan nabi shalallahu ‘alaihi wassalam untuk MENERANGKAN al-Qur’an kepada manusia. Jadi tidaklah kita dapat memahami al-Qur’an dengan sempurna tanpa as-Sunnah. Karena penjelasan dari al-Qur’an sebagiannya ada pada Nabi (as-Sunnah).

Jadi, apabila kita membaca tafsir, atau mencari kitab tafsir, pilihlah kitab tafsir yang menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya dan menjelaskan ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliaulah orang yang paling tahu al-Qur’an dan Allah siapkan untuk menjelaskan al-Qur’an kepada manusia sesuai an-Nahl: 44 di atas. Jangan kita gunakan tafsir yang berdasarkan akal semata, atau hanya menggunakan perkataan-perkataan manusia belaka. Karena tidak ada manusia yang ma’shum di muka bumi ini kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah risalah kecil ini. Sesungguhnya kehujjahan as-Sunnah adalah sesuatu yang sangat terang dan jelas, demikian pula keharusan taat pada Allah & Rasul-Nya dimana kita tidak boleh / haram membeda-bedakan diantara keduanya.

Namun demikian, masih saja ada segelintir orang yang menolak as-Sunnah dengan sengaja (bukan karena ketidaktahuan). Sungguh, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah menyatakan bahwa orang seperti itu memang akan datang di tengah-tengah kita.

Semoga tulisan ini dapat menjadi nasehat bagi mereka, dan kami tutup dengan hadits-hadits berkenaan akan datangnya orang-orang yang mengingkari as-Sunnah.

Hadits-hadits berkenaan akan datangnya orang-orang yang mengingkari as-Sunnah

“Jangan sampai aku dapati seseorang diantara kalian yang duduk bersandar di sofanya lalu datang kepadanya urusan (perkara) dari urusanku dari apa-apa yang aku perintah dan aku larang, lalu ia berkata, ‘Kami tidak mengetahuinya. Apa yang kami dapati dalam Kitabullah, itulah yang kami ikuti (dan yang tidak terdapat dalam Kitabullah kami tidak ikuti).”

HR Ahmad VI/8, Abu Dawud #4605, at-Tirmidzi #2663, dll, Lafazh ini milik Abu Dawud, shahih.

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan  Al-Kitab (al-Qur’an) dan yang seperti al-Qur’an bersamanya. Ketahuilah, nanti akan ada orang yang kenyang di atas sofanya sambil berkata, ‘Cukuplah bagimu untuk berpegang dengan al-Qur’an (saja), apa-apa yang kalian dapati hukum halal di dalamnya, maka halalkanlah dan apa-apa yang kailan dapati hukum haram di dalamnya, maka haramkanlah.’ (Ketahuilah) sesungguhnya apa-apa yang diharamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam SAMA seperti yang diharamkan Allah, ketahuilah tidak halal bagi kalian keledai negeri (keledai piaraan) dan tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas dan tidak halal pula barang pungutan (kafir) mu’ahad kecuali bila pemiliknya tidak memerlukannya dan barangsiapa yang singgah di suatu kaum, maka wajib atas mereka menghormatinya. Bila mereka tidak menghormatinya, maka wajib baginya menggantikan yang serupa dengan penghormatan itu.”

HR Abu Dawud #4604, Ibnu Majah #12, Ahmad IV/131, dll. shahih.

Demikianlah akan datang jenis manusia yang menolak as-Sunnah. Padahal tidak ada beda antara hukum Allah dan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh membeda-bedakan, memilih-milih, dsb, diantara keduanya, apalagi MENOLAK as-Sunnah.

“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan. Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau, ‘Siapa yang mentaatiku pasti masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan’“. HR Bukhari #7280


No comments: