Faktor yang paling utama dalam kehidupan adalah masalah keselarasan antara adat dengan aqidah dan syariah Islam. Setiap adat yang bisa selaras dan tidak bertabrakan langsung dengan keduanya, sebenarnya tidak perlu dihancurkan. Bahkan dalam beberapa kasus, adat dan kebiasaan itu malah bisa dijadikan landasan hukum Islam.Tapi apabila kita salah mengikuti pada adat yang tak sesuai dengan syariah , itu sangatlah berbahaya. Kita harus bisa memilah adat istiadat yang berkembang di tengah masyarakat itu, adat dibagi menjadi tiga jenis, bila dipandang dari sisi keselarasan dengan aqidah dan syariah.
a. Adat yang Sejalan dengan Agama
Banyak sekali adat yang telah berkembang di masyarakat ini.Bermacam-macam adat dari berbagai kalangan. Adat bisa menjadi nilai pahala dan bisa menjadi sebuah dosa dan kesalahan. Adat yang menimbulkan pahala yaitu adat yang sesuai dengan syar’I dan juga tidak bertentangan. Adat yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i maka seseorang yang menjalankannya itu akan mendapat nilai pahala.
Beberapa diantara adat yang sesuai dengan hokum syar’i yaitu : sholawat albarjanji untuk menyambut datangnya pasangan pengantin atau saat kelahiran bayi, dan sebagainya.
b. Adat yang Bertentangan dengan Agama
Selain adat yang sejalan atau selaras dengan agama baik aturan ataupun tata caranya , ada juga adat yang bertentangan dengan syariah agama.Dan semua itu telah tertanam di masing-masing jiwa masyarakat, dan itu sangat sulit untuk dihilangkan.
Contoh adat yang bertentangan dengan syariah agama islam antara lain: sabung ayam, adu domba, pergi kedukun,menyembah pohon keramat, tradisi nglarung, dan sebagainya. Semua itu sudah menjadi kebiasaan yang sangat melekat pada diri masing-masing masyarakat. Adat/kebiasaan diatas sangatlah bertentangan dengan hukum syar’I. Semua itu bisa menyebabkan kemusyrikan. Hanya iman dan taqwa yang bisa menghindarkan diri dari perbuatan musyrik tersebut.
c. Adat yang Masih Jadi Khilaf di Kalangan Ulama
Selain kedua jenis adat istiadat di atas, masih ada satu lagi jenis adat yang berada di tengah-tengah. Adat ini tidak bisa dikatakan adat yang pasti bertabrakan dengan aqidah dan syariah, namun juga tidak 100% disepakati oleh ulama tentang hukum kebolehannya. Di antara contoh yan bisa disebut untuk mewakili jenis adat ini adalah budaya tahlilan atau mengirim pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah wafat.
Sebagian ulama memandang bahwa kebiasaan ini tidak sesuai dengan dalil-dalil syariah, sehingga menganggap adat ini sebagai sesuatu yang baru dan harus dihilangkan. Sebaliknya, sebagian ulama lain memandang bahwa tetap ada dalil-dalil yang membenarkan diterimanya pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah wafat.
Penyebab Perbedaan Pendapat
Penyebab perbedaan pendapat di antara mereka adalah adanya atsar yang berbeda dan bertentangan. Mereka yang mendukung pendapat tentang tidak sampainya pahala bacaan Al-Quran kepada orang mati, biasanya berdalil dengan nash-nash berikut:
Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm:38-39)
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Yaasiin:54)
Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqaraah 286)
Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo'akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya. (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad)
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirimkan atau dihadiahkan kepada orang yang sudah mati. Misalnya hadits-hadits berikut ini:
Dari Ma'qil bin Yasar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bacakanlah surat Yaasiin atas orang yang meninggal di antara kalian." (HR Abu Daud, An-Nasaa'i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Jantungnya Al-Quran adalah surat Yaasiin. Tidak seorang yang mencintai Allah dan negeri akhirat membacanya kecuali dosa-dosanya diampuni. Bacakanlah (Yaasiin) atas orang-orang mati di antara kalian. (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim) Hadits ini dicacat oleh Ad-Daruquthuny dan Ibnul Qathan, namun Ibnu Hibban dan Al-Hakim menshahihkannya.
Dari Abi Ad-Darda' dan Abi Dzar ra berkata, "Tidaklah seseorang mati lalu dibacakan atasnya surat Yaasiin, kecuali Allah ringankan siksa untuknya." (HR Ad-Dailami dengan sanad yang dhaif sekali)
Adalah Ibnu Umar ra. gemar membacakan bagian awal dan akhir surat Al-Baqarah di atas kubur sesuah mayat dikuburkan. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang hasan).
Dengan adanya pendapat yang berbeda diantara beberapa ulama, maka dari itu kita tidak bisa mengatakan bahwa tahlilan dan kirim do’a itu adalah suatu adat yang benar atau yang salah, karena masing-masing golongan mempunyai dasar hukum yang benar. Baik itu hadits maupun firman Allah semua itu bisa dijadikan dasar hukum.
No comments:
Post a Comment